Kamis (4/12), waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi. Perhatian puluhan pasang mata tampak tertuju pada sepuluh dokar yang melintasi Jalan Raya Gejlik Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan. Wajar saja, alat transportasi tradisional itu tampak menarik dengan hiasan kertas warna-warni yang menempel di setiap sisinya. Kuda-kuda itu melaju mengikuti arah sang kusir untuk mengantarkan iring-iringan keluarga pasangan Eko Wardoyo dan Sri Kantun menuju kediaman Mbah Suryo Buono di Desa Pekiringanalit, Kecamatan Kajen.
Warga asal Gejlik Rt 11 Rw 5 tersebut hendak mengantarkan anaknya yang memiliki rambut kucir, Slamet Winandoyo (12) untuk menjalankan ritual “tiges kuncung”. Butuh waktu 30 menit dengan jarak sekitar 5 km untuk menuju kediaman budayawan tersebut.
Sepanjang perjalanan, segenap ubo rampe sebagai bahan ritual mereka bawa, meliputi jajan pasar, nasi tumpeng dengan aneka lauk-pauk. Bahan-bahan tersebut dibawa guna selamatan acara pemotongan rambut bajang milik Slamet Winandoyo, yang kini masih duduk di kelas V SD.
Sesampainya di rumah Mbah Suryo, acara kebangsaan dengan menyanyikan lagu Indononesia Raya mengawali ritual tiges kuncung. Kemudian, dilanjutkan doa yang dilakukan oleh pemuka agama dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberikan keberkahan, selamat bagi keluarga dalam menjalankan hajatnya.
Sebuah kendi berisikan sesajen yang dimuat dalam miniatur kapal berbalut kain putih dengan rumbai-rumbai bendera merah putih menjadi peralatan khusus dalam serangkaian acara tersebut. Miniatur kapal itu kemudian diarak dari kediaman Mbah Suryo menuju Sungai Luwuk yang berjarak sekitar 50 meter. Sungai Luwuk sendiri dipercaya mempunyai nilai historis perjuangan dan sejarah Kabupaten Pekalongan. Ratusan keluarga yang hadir turut mengiringi secara khidmat tradisi tiges.
Kepulan asap dupa menyeruak di sekitar sungai tersebut, beberapa keluarga mengiringi Slamet yang mengenakan sarung dan baju koko menuju tepian sungai Luwuk di atas bebatuan. Sementara Mbah Suryo memulai acara itu dengan membaca do’a khusus. Tanpa ragu ia nyemplung ke dasar sungai, lalu memotong rambut bajang Slamet. Bekas potongan rambut tersebut kemudian dilarung bersama miniatur kapal yang berisi kendi dan beberapa sesaji mengikuti derasnya aliran sungai Luwuk.
“Ini merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang, dulu ini orang tua Slamet sudah bernadzar akan memotong rambut kucirnya jika Slamet hendak disunat. Nah ini baru terlaksana. Semoga Slamet diberikan keberkahan sehat tidak sakit-sakitan lagi,” ungkap Mbah Suryo usai melarung rambut bajang Slamet.
Prosesi tersebut tidak hanya menarik perhatian para keluarga yang hadir mengiringi ritual. Masyarakat sekitar juga tampak memenuhi lokasi sungai, seakan ingin menyaksikan langsung tradisi ritual pemotongan rambut bajang.
Usai prosesi potong rambut selesai, Slamet dikawal oleh keluarganya kembali kedarat menuju lokasi kediaman Mbah Suryo. Sembari mengandeng Slamet, pihak keluarga juga menebar beras kuning yang telah dicampur dengan ratusan kepingan uang receh di sepanjang perjalanan. Hal ini tentu menjadi pemandangan yang menarik. Secara spontan, warga yang hadir langsung beradu cepat mengambil ratusan uang receh tersebut.
Kartiyah, nenek Slamet mengatakan, cucunya sejak lahir kerap rewel dan sakit-sakitan. Hal ini membuat pihak keluarga tidak memotong rambut bajang atau rambut kucir belakang dari lahir sampai saat ini Slamet menginjak kelas V sekolah dasar.
“Nanti malam Slamet akan disunati, nah kami memang sudah berencan jauh hari nuntuk menggelar acara tiges kuncung atau m,enggunting kuycir cucu saya ketika akan disunat di kediaman mbah Sur,” ungkapnya lantang.
Ia mengharapkan, acara tiges kuncung tersebut dapat memeberikan makna yang baik bagi keluarga, serta sebagai upaya ikhtiar menghindari dari segala sengkala dan balak muysibah bagi Slamet.
“Semoga gusti pengeran memberikan barokah kesehatan bagi kami sekeluarga,” harap Kartiyah
Sumber Radar Pekalongan